Beranda | Artikel
Sosok Ideal Seorang Dai
Kamis, 5 November 2009

SOSOK IDEAL SEORANG DA’I

Oleh
Ustadz Abu Saad Mohammad Nur Huda

Sesungguhnya menyeru menuju jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan tugas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga para pengikutnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah :

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yusuf:108]

Syaikh As Sa’di berkata tentang ayat ini di dalam tafsirnya : “Ini adalah jalanku yang aku menyeru kepadanya, dan jalan inilah yang mengantarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menuju taman kemuliaanNya dan mengandung makna mengetahui kebenaran, beramal dengannya, mendahulukan itu semua sebelum yang lainnya, serta mengikhlaskan agama hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata tidak ada sekutu bagiNya”.

Tujuan dakwah para rasul dan juga para pengikutnya, secara keseluruhan ialah mengeluarkan manusia dari gelapnya kejahilan menuju cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari kekufuran kepada keimanan, dari kesyirikan menuju tauhid dan dari kesempitan dunia menuju kemaha-luasan akhirat. Ini merupakan tugas yang sangat mulia, tugas para da’i, para penyeru menuju jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, jalan menuju keimanan, ikhlas dalam beribadah kepadaNya, tunduk kepada hukum-hukumNya dan merealisasikannya dalam kehidupan; dan juga seruan untuk berakhlak mulia, menunaikan hak-hak sesama dan berbuat adil. Dengan semua ini, akan terwujudlah rasa kasih-sayang, persaudaraan di antara orang-orang yang beriman, memunculkan rasa aman secara sempurna, terbentuk aturan yang tertib dan rapi di bawah naungan undang-undang Ilahi, dan tersingkirkanlah aturan-aturan jahiliyah, keyakinan-keyakinan batil dan juga akhlak yang tercela dari kehidupan kaum Muslimin.

Oleh karena itu, dakwah mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam agama. Demikian juga dengan para juru dakwah, sebagaimana dipaparkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam KitabNya :

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung” [Ali Imran:104]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan tentang keutamaan seorang da’i.

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata “sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat:33].

Sehingga apabila seorang da’i menghendaki dakwahnya membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, maka selayaknya menghiasi pribadinya dengan akhlak yang merupakan sebagian faktor utama yang dapat mendukung keberhasilan dakwahnya, di antaranya sebagai berikut ini.

Pertama : Ikhlas Dalam Berdakwah.
Motivasi utama bagi seorang da’i tatkala berdakwah ialah rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kepada agamaNya, kepada sesamanya, mengharapkan kebaikan untuk orang yang didakwahi. Keikhlasan da’i dalam dakwahnya, merupakan perkara yang paling penting bagi keberhasilan dakwahnya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan tentang para nabi tatkala mereka berkata kepada kaumnya :

فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun daripadamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepadaNya)”. [Yunus:72]

Jika dakwah didasarkan bukan karena ikhlas, tetapi karena riya’, mengharap kedudukan, harta ataupun kepentingan dunia lainnya, maka tidak dapat disebut sebagai dakwah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, melainkan seruan untuk dirinya sendiri, kepentingan pribadi atau maksud-maksud lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi peringatan tentang hal ini dalam firmanNya:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ {15} أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka, di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”.[Hud:15-16]

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Sesungguhnya, orang-orang yang riya’, mereka diberi kebaikan di dunia, dan tidak di dirugikan sedikitpun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ‘barangsiapa beramal shalih namun tujuannya untuk mencari dunia, Aku akan membalas perbuatan mereka dengan sempurna di dunia, tetapi sia-sialah apa yang dia perbuat. Dan di akhirat, ia termasuk orang-orang yang merugi’.”

Kedua : Ilmu.
Tentang ilmu, ini meliputi tiga perkara :
a). Ilmu agama.
Seorang da’i harus mengetahui syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, sehingga mampu berdakwah di atas ilmu dan hujjah. Allah telah menjelaskan dalam firmaNya :

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yusuf : 108].

Makna bashirah dalam ayat ini ialah ilmu. Yang dengan ilmu ini, seorang da’i akan mampu mempertahankan apa yang didakwahkannya dari segala bentuk syubhat ataupun kerancuan, menegakkan hujjah terhadap para penentangnya, sehingga kebenaran bisa diterima dengan ijin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang tidak memiliki ilmu, tidaklah pantas untuk menjadi seorang da’i, karena akan lebih banyak membuat kerusakan dibanding perbaikan. Berapa banyak kerugian yang disebabkan para da’i karbitan, baik pada dirinya, ataupun pada dakwah itu sendiri. Tanpa memiliki ilmu, maka runtuhlah da’i itu dihadapkan kebatilan yang disebabkan karena kejahilannya atas apa yang didakwahkannya. Oleh sebab itu, dilarang menempatkan seseorang yang tidak berilmu sebagai da’i.

b). Ilmu tentang keadaan orang yang hendak didakwahinya.
Dengan mengetahui keadaan orang yang hendak didakwahinya, sehingga seorang da’i sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi medan dakwah di depannya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz ke Yaman, Beliau n memberikan wasiat :

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ

“Sesunggungnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab”. [HR Bukhari, Juz 4, hlm. 1580]

Dalam hadist ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada siapa dia diutus, sehingga dia mengetahui yang akan dihadapinya, kemudian mempersiapkan diri. Sebaliknya, jika seorang da’i tidak mengetahui keadaan orang yang hendak didakwahi, maka akan berdampak buruk pada dakwahnya, sehingga mungkin tidak tepat sasaran dan gagal.

c). Seorang da’i hendaklah mengetahui ilmu tentang metode dakwah.

Ketiga : Beramal Dengan Apa Yang Didakwahkan.
Ini merupakan sifat yang wajib dimiliki seorang da’i. Dia harus menjadi suri tauladan bagi orang lain tentang apa yang didakwahkannya, sehingga bukan termasuk orang yang mengajak kepada kebaikan namun justru dia meninggalkannya; mencegah dari sesuatu, namun dia sendiri melakukannya. Orang seperti ini termasuk golongan orang-orang yang merugi. Adapun orang yang beriman, mereka menyeru kepada kebenaran, beramal dengannya, bersegera dan bersemangat dalam mengamalkannya dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” [AshShaf:2-3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang Yahudi, tatkala mereka memerintahkan orang-orang untuk berbuat baik sedangkan mereka melupakan diri mereka sendiri :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” [Al Baqarah:44]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan :

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

“Didatangkan seseorang pada hari Kiamat, kemudian dilemparkan ke dalam nereka hingga ususnya terburai berputar-putar seperti keledai berputar di sekeliling batu gilingan. Berkumpullah padanya penghuni neraka dan bertanya kepadanya: “Wahai, fulan! Apa yang terjadi denganmu? Bukankah engkau dahulu yang memerintahkan kami mengerjakan kebaikan dan mencegah kami dari kemungkaran?” Dia menjawab: “Aku memerintahkan kalian mengerjakan kebaikan, sedangkan aku tidak mengerjakannya. Aku larang kalian dari kemungkaran, (tetapi) aku sendiri melakukannya”.[HR Bukhari, Juz 4, hlm. 1191]

Hendaklah seorang da’i menyadari, bahwa kemalasannya dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subanahu wa Ta’alal berbeda dengan orang lain, karena dia sebagai contoh bagi orang lain. Tatkala orang melihatnya malas, maka orangpun akan berbuat semisalnya, atau bahkan lebih parah lagi. Sebagaimana pelanggaran hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala oleh da’i, tidaklah sama dengan pelanggaran yang dilakukan orang lain, karena ini akan diikuti, sehingga tersebarlah maksiat dimana-mana dengan dalih, da’i fulan melakukannya. Terkadang perkara yang sunnah bisa menjadi wajib bagi seorang da’i. Artinya, seorang da’i dituntut untuk senantiasa mengamalkan yang sunnah, supaya orang lain mencontohnya sehingga sunnah itu tersebar di masyarakat. Demikian juga perkara yang makruh bisa menjadi haram bagi seorang da’i. Artinya, seorang da’i dituntut untuk senantiasa meninggalkan perkara yang makruh, supaya orang lain tidak mencontohnya dan menganggap itu perkara yang mubah, sehingga perkara yang makruh tersebut tidak menjadi kebiasaan di masyarakat. Disinilah seorang da’i mempunyai amanah yang berat dan tanggung-jawab yang besar. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong kita dalam menunaikan tanggung-jawab ini.

Keempat : Hikmah.
Secara ringkas, makna hikmah adalah tepat dalam ucapan dan sikap, dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Seorang da’i harus mempunyai kearifan dalam dakwahnya. Yaitu dengan menggunakan cara yang terbaik sesuai dengan keadaan dan tempatnya, karena manusia tidak memiliki cara yang sama dalam berfikir, tingkat pemahaman dan tabiatnya. Demikian juga penerimaan mereka terhadap kebenaran yang didakwahkan, ada yang langsung menerima tanpa harus berfikir panjang, ada pula yang perlu berdiskusi terlebih dahulu, terkadang harus diiringi dengan perdebatan yang cukup panjang. Maka seorang da’i dituntut untuk menggunakan metode yang sesuai dengan kondisi masing-masing orang, sehingga dakwahnya bisa lebih diterima masyarakat dan tepat sasaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” [An Nahl:125]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi contoh kepada kita cara berdakwah dengan hikmah, sebagaimana diceritakan oleh Anan bin Malik Radhiyallahu ‘anhu :

بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْ مَهْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَرَ رَجُلًا مِنْ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ

“Dari Anas bin Malik : “Tatkala kami bersama Nabi n di masjid, tiba-tiba datang seorang Arab badui berdiri dan kencing di masjid, maka berkatalah para sahabat,’Apa-apaan ini!’ Nabi n bersabda, ‘Jangan kalian putuskan air kencingnya. Biarkan dia.’ Maka sahabat membiarkannya hingga selesai kencingnya, kemudian Nabi memanggilnya dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya masjid ini tidak selayaknya untuk dikencingi ataupun dikotori. Masjid ini untuk mengingat Allah, shalat dan membaca Al Qur’an.’ Kemudian Nabi n memerintahkan salah seorang di antara mereka untuk mengambil seember air dan menyiramkannya” [HR Muslim, Juz 1, hlm. 231]

Sikap yang ditunjukkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan sikap yang sangat agung, mengandung kelembutan yang diiringi dengan hikmah. Perhatikanlah, bagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lemah-lembut dengan seorang yang jahil tanpa harus bersikap kasar atau mencelanya. Sebaliknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan apa yang layak dilakukannya. Akhlak seperti inilah yang seharusnya dimiliki seorang da’i dalam menjalankan dakwahnya.

Kelima : Sabar.
Ini merupakan tiang utama penopang keberhasilan dakwah. Seorang da’i pasti akan mendapatkan gangguan dalam dakwahnya, apabila dia menjelaskan tentang haramnya syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjelaskan berbagai macam kesyrikan yang terjadi di masyarakat. Orang-orang musrik akan bangkit menghadang dan menentang dakwahnya. Demikian juga jika menjelaskan tentang wajibnya berpegang dengan Sunnah dan meninggalkan bid’ah, maka ahli bid’ah akan merintanginya, baik dengan ucapan ataupun tindakan yang ditujukan pada dirinya ataupun pada dakwahnya. Lihatlah kesabaran pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian juga para rasul sebelum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka sabar menghadapi pahit getirnya berdakwah dan tantangan yang dihadapi, sebagaimana dilukiskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya :

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُواْ عَلَى مَا كُذِّبُواْ وَأُوذُواْ حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ
اللّهِ

“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah” [Al An’am:34]

Sabar mempunyai kedudukan yang tinggi, tidak mungkin dicapai kecuali dengan mengambil sebabnya. Di antaranya, yaitu dengan mengingat betapa besar pahala yang Allah Subhanahu wa Ta’ala siapkan bagi hambaNya yang bersabar.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas”. [Az Zumar:10]

Bagaimana pula pelajaran yang bisa diambil dari sejarah para ulama Salaf dalam menegakkan kebenaran. Mereka sabar dalam menghadapi berbagai rintangan hingga datangnya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana fitnah yang terjadi pada diri Imam Ahmad dan Imam Ibnu Taimiyyah pada zaman mereka berdua. Maka bersabarlah wahai para da’i dalam menegakkan kebenaran, mendakwahkannya dan membelanya, gantungkanlah harapan, panjangkanlah nafas, bekerja keraslah siang dan malam, dan lihatlah jauh ke depan, keberhasilan dakwah menunggu di hadapan kalian dengan ijin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hanya kepadaNya, kita memohon pertolongan dan menyandarkan harapan. Walllahu a’lam.

Maraji’:
– Risalah ila Ad Du’at, karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin, Cet. ke-1, Th. 1419 H, Dar Al Qasim, Riyadh, KSA.
– Wujub Ad Da’wah Ilallahi wa Akhlaqul Du’at, karya Fadhilatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Cet. ke-1, Th. 1413 H, Dar Al Wathan, Riyadh, KSA.
– Manhaj Al Anbiya` Fi Ad Da’wah Ilallahi Fihi Al Hikmah wal Aql, karya Fadhilatusy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, Cet. Ke-2, Th. 1414 H, Dar Al Ghuraba’, Madinah Al Munawwarah, KSA.
– Al Hikmah Fi Ad Dakwah Ilallahi, karya Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Cet. ke-2, Th. 1413 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2565-sosok-ideal-seorang-dai.html